Selasa, 23 Oktober 2012

Konsep Kurban Dalam Islam

SETIAP tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam memperingati Hari Raya Kurban. Dzulhijjah adalah di antara bulan-bulan yang memiliki keutamaan tersendiri. Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam bersabda: "Tidak ada hari-hari, di mana amalan shaleh di dalamnya lebih dicintai Allah daripada (amalan shaleh) di 10 hari pertama (bulan Dzulhijjah). Para Sahabat bertanya: Apakah termasuk jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: Ya, termasuk jihad (yang dilakukan di luar 10 hari tsb), kecuali orang yang pergi (berjihad) dengan nyawa dan hartanya, dan dia tidak kembali lagi." [HR. Bukhari]

Di antara amalan shaleh terpenting di bulan Dzulhijjah, selain ibadah haji adalah ibadah kurban. Berkenaan dengan fadilah kurban ini dapat kita simak Hadits berikut ini: Wahai Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam, apakah kurban itu?

Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Para Sahabat bertanya: “Apa keutamaan yang akan kami peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Bbn Majah).

Di samping itu, Rasulullah Shallallahu a’alaihi Wassalam juga bersabda: "Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami." (HR Sunan Ibn Majah, 3123)

Makna Kurban

Kurban dalam bahasa arab berakar kata dari qaruba. Akar kata ini membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri) aqriba' (kerabat) dsb.

Menurut para pakar bahasa Arab, kurban bermakna suatu sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (lihat: Ma'ani l-Qur'an).

Al-Mawardi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kurban adalah amal kebajikan yang ditujukan menggapai Rahmat Allah. Sedangkan dalam Mu'jam Wasith kurban berarti segala bentuk amalan untuk bertaqarrub kepada Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mengutip Sabda Nabi kepada Ka'b: "Wahai Ka'b! Puasa itu adalah perisai dan shalat itu adalah kurban". Lebih lanjut dalam kitab Hilyatul Auliya' dijelaskan sebagai berikut:

"Shalat adalah kurban dari setiap orang yang bertakwa.”
Haji itu adalah bentuk jihad dari setiap orang yang lemah
Zakat badan adalah puasa
Pendakwah tanpa amalan bagai pemanah tanpa busur.
Pancinglah turunnya rizki dengan bersedekah
Bentengilah hartamu dengan zakat".
Qurb (dekat) yang menjadi derivasi kata Qurban mempunyai arti sebagai kondisi istiqamah yang sejalan dengan perintah Allah, ketaatan dan memaksimalkan waktu untuk beribadah kepada-Nya (Lathaif al-I'lam).

Dalam hal ini, Abul Qasim al-Junaid (w.297H) memberi contoh makna qurb sebagai berikut: Ketahuilah! Sesungguhnya Allah mendekati hati hamba-hambaNya sesuai apa yang Dia ketahuhi dari kedekatan hati hamba-hambaNya kepadaNya. Maka perhatikanlah, perihal apakah yang mendekati pada hatimu?

Takwa dan Kurban

Allah berfirman:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِي

"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS: al-Maidah: 27)

Al-Mawardi dalam tafsirnya menukil pendapat Abdullah bin 'Umar tentang sebab diterimanya kurban Habil, dikarenakan beliau mempersembahkan harta terbaiknya yang berupa tanaman sebagai kurbannya. Sedangkan ditolaknya kurban Qabil ditolak karena dia bersifat minimalis dalam mempersembahkan hartanya.

Maka keikhlasan sebagai ruh takwa adalah kualifikasi diterimanya sebuah kurban. Sebab takwa memiliki makna lahir dan batin. Makna lahiriyah takwa diukur dari sejauhmana seorang hamba memperhatikan batasan-batasan (hudud) yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan makna batinnya ditentukan oleh keikhlasan dalam setiap amalannya. (lihat: al-Risalah al-Qusyairiyyah, I/308)

Allah berfirman:


لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِي

"Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS: al-Hajj: 37)

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa Ridha Allah tidak akan sampai pada pemilik daging-daging yang disedekahkan dan darah-darah yang mengalir dari hewan yang dikurbankan kecuali jika dia melandasi amalannya dengan niat ikhlas dan memperhatikan syarat-syarat taqwa saat berkurban.

Secara kebahasaan, takwa berarti menjaga jiwa dari sesuatu yang ditakuti (ja'lun nafs fi wiqayatin mimma yakhaf). Makna takwa ini dapat kita ketahui dari penjelasan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam; "Hindarilah (ittaqu, dari kata taqwa) api neraka walau dengan sebutir kurma, jika tidak punya sebutir kurma, maka gunakan kata yang baik." (HR. Bukhari)

Sedangkan secara syar'i, takwa berarti menjaga jiwa dari segala yang mengotorinya, yaitu dengan meninggalkan semua yang dilarang. Orang yang bertaqwa adalah yang menjadikan ketaatannya hanya untuk Allah dan mematuhi perintah-Nya sebagai pelindung dari azab-Nya. Kesemuanya ini berjalan sempurna dengan meninggalkan hal-hal dibolehkan (mubah) tapi mengandung syubhat, sehingga dia tidak terperosok kedalam hal yang diharamkan.

Oleh karena itu, Ibn ‘Umar berkata: "Seorang hamba tidak akan mencapai takwa yang hakiki sehingga dia meninggalkan gejolak (niatan buruk) dalam dadanya." (HR Shahih Bukhari, kitabul iman)

Dalam pandangan Sufi yang lurus, takwa menempati maqam tertinggi, karena takwa menghindari hal-hal yang tidak disukai (makruh). Taqwa mendindingi seseorang dari segala yang dicintai dan dicarinya; seperti menjauhi kekufuran dengan keimanan, kesyirikan dengan tauhid, riya’ dengan ikhlas, dusta dengan jujur, curang dengan nasehat, maksiat dengan taat, bid’ah dengan ittiba’, syubhat dengan wara’, dunia dengan zuhud, lalai dengan zikir, setan dengan ta’awudz, neraka dengan menjauhi amalan buruk, dan menghindari semua kejahatan dengan kebaikan yang menjadi penyelamatnya.

Maka menurut kaum sufi, takwa itu mencakup empat hal:

Pertama, sangat takut dari dosa-dosa di masa silam, di mana kenikmatannya telah sirna tetapi balasan dosanya masih menghantuinya.
Kedua, sangat khawatir terperosok kedalam dosa-dosa di masa mendatang
Ketiga, sangat takut bila mendapatkan su’ul khatimah.
Keempat, sering bermuhasabah (introspeksi diri)

Mengenai penyebutan daging dan darah dalam QS. Al-Hajj 37, Ibnu Katsir menjelaskan hal ini karena kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika berkurban mereka menggantungkan daging kurban pada patung tuhan-tuhannya dan melumuri “tuhan”nya dengan darah kurban. Lalu para Sahabat berkata: "Kami lebih berhak melakukan hal itu dari mereka". Maka turunlah ayat: "Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya".

Lalu beliau menyitir Hadits Nabi: "Sesungguhnya amalan sedekah itu telah sampai kepada Allah sebelum sampai ke tangan penerimanya, dan sungguh (pahala) dari darah (kurban) itu telah sampai kepada Allah sebelum membasahi bumi." (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Dengan demikian hal terpenting dari ibadah kurban adalah sarana sebagai penggemblengan jiwa untuk lebih bertaqarrub kepada Allah dan memperbaiki kualitas takwa kita. Wallahu a'lam bissawab
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

berikanlah komentar yang baik dan berbahasa yang sopan

Copyright © Teja Note's 2010

Replaced Teja Genio