KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang selalu memberikan kemudahan bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menulis makalah ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam Muhammad saw serta keluarga, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Begitu hebatnya nabi Muhammad dalam menyampaikan risalah tuhannya hingga beliau mampu menyebarluaskan dan menegakkan islam di atas idielogi lainnya. Sehinnga tak heran jika kita patut ikut serta dalam memperjuangkan islam ini. Dari cara rasulullah menyampaikan ajaran islam banyak ilmu yang bisa kita ambil sebagai bekal kita untuk menerapkan bagaimana kita bisa mendapatkan dan memberikan ilmu kepada orang lain. Disini kami sedikit akan mengulas tentang paradigma pendidikan islam. Dan juga beberapa hal yang perlu kita kketahui tentang cara mendidik secara islam tentunya berlandasan paradigma pendidikan islam.
Sedikit banyaknya ada kata atau kalimat yang tidak tepat dalam penulisan ini kami dengan sangat berharap setelah membaca makalah ini pembaca bisa memberikan masukan atau pesan agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi membuat makalah. Dan kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing serta pihak lain yang telah bersedia membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Amien.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan saat ini menjadi suatu acuan bagi anak untuk bisa mengembangkan potensi diri dan menumbuhkan sikap dan mental yang dewasa. Tentunya dalam hal ini pendidikan yang diberikan pada anak melalui media sekolah. Sekolah merupakan suatu ladang bagi anak untuk memperoleh ilmu serta mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan yang diberikan saat ini merupakan pendidikan yang berdaasarkan dengan kurikulum KTSP. Bentuk pendidikan yang diberikan sangat terbatas dan berlandaskan sesuai kurikulum. Misal, target anak dalam satu tahun pendidikan harus mampu menyelesaikan satu buku panduan belajar yang berisi beberapa bab. Itu belum bisa mampu anak bisa menangkap semua pelajaran dalam satu tahun semua per mata plajaran. Seandainya satu tahun pelajaran ada 13 mata pelajaran yang setiap masing mata pelajaran harus mampu menyelesaikan semua pelajaran per bab dalam satu tahun bagaimana mungkin anak bisa menyerap itu semua ?. metode pendidikan yang diberikan pada anak didik saat ini sudah jauh dengan cara pendidikan islam. Pendidikan islam dasarnya selalu mendidik anak berdasarkan tauhid. Mendidik anak yang memberikan pengetahuan serta pengenalan terhadap sang penciptanya. Pendidikan saat ini kebanyakan teori yang dia ajarkan pada anak yaitu teori orang barat. Banyak teori teori yang menyatakan bahwa dia lah yang pertama kali menemukan sesuatu. Padahal dalam pendidikan islam semua yang ada dibumi dan serta isinya sudah dijelaskan dalam al quran. Dan juga merekalah tokoh islam yang pertamakali menemukan tentang ilmu sains, kesehatan, ilmu falak, ilmu ekstrak dan lainnya. Namun saat ini sudah dirubah oleh mereka orang barat. Dan merekalah menyatakan dirinya orang yang pertamakali menemukan teori itu. Oleh karena itu kembali kita mengkaji bagaimana pendidikan dalam islam yang sebenarnya. Dalam makalah sederhana ini kami sedikit akan menguraiknnya.
TUJUAN
Makalah ini sengaja kami buat bertujuan agar pendidikan yang ada saat ini bisa kembali menerapkan pendidikan yang sesuai dengan pendidikan islam. Juga memberikan motivasi bagi pendidik bagaimana mendidik anak yang sesuai dengan pendidikan islam. Serta memberikan anak pemahaman pada anak seiring perkembangannya dengan pengetahuan tauhid dan akidah yang benar.
RUMUSAN MASALAH
Makalah ini membahas beberapa hal tentang paradigma pendidikan islam yaitu mengenai :
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan islam
2. bagaimana pandangan islam sebagai paradigma ilmu pendidikan
3. apa yang menjadi dasar paradigma pendidikan
4. kenapa pendidikan islam bisa maju
5. kenapa pendidikan islam bisa mundur dari setelah lama berjaya
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
A. Pengertian Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang—mengenai realita—dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world [suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata].” Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Akhirnya, saya berharap semoga blog ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua khususnya bagi saya pribadi.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.
B. ISLAM SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENDIDIKAN
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia[19]. Maka di sini perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
.Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya pendidikan sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[20]
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:
1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan. [21]Penulis akan menjelaskan landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
b. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
c. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
d. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[22]
2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
Dalam hal ini, kita akan mencoba membandingkan konsep Sekuler, konsep sosialis dengan konsep Islam dalam hal Ilmu Pengetahuan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan tentunya. Terbukti dalam sejarah, bahwa Islam tidak pernah mengalami konflik dengan sistem pengetahuan rasional[23], tidak seperti Kristen.
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal,)[24] Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.” [Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat] (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166). [25]
3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). [26]
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 126).
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190). [27]
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003). [28]
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.[29] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”.[30] Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut mengandung suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis, melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
(1) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
(2) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);
(3) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
(4) menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
Pertama, asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Kedua, konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan, manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan, yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam; dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).
Ketiga, teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari sudut yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia empiris tentang orang atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun teori-teori kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.
C. DASAR PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam. Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat.
D. AWAL KEMAJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam peran pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu. Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba, spontan atau mendadak. Kesadaran ini muncul dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa Rasul Muhammad Saw.) Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan. Setelah Muhammad wafat, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi darah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI sampai awal abad XIII M. Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo. Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik. Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang. Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb. Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Artinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi. Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan istana pun terbuka untuk umum.
E. PERIODE KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik. Namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh :
(1) Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah swt.
(2) Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
(3) Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
(4) Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
(5) Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.
SARAN
Karena pendidikan saat sekarang sudah berkembang dan sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem kurikulum KTSP/KD yang di setiap anak harus mampu mencapai target nilai standar. Untuk itu kita kembali melihat bagaimana pendidikan yang di ajarkan oleh rasul dalam islam agar kita bisa menerapkannya tapi tanpa harus menghilangkan sistim pendidikan sekarang. Namun sebaiknya sistim pendidikan yang saat ini adadan berlaku harus mampu menyesuaikan dengan daya tangkap anak didik yang berlandaskan dengan konsep islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://jorjoran.wordpress.com/category/paradigma-pendidikan/
http://paiinisnujepara.blogspot.com/2010/10/paradigma-pendidikan-islam.html
http://iraoneajza.blogspot.com/2011/01/pengertian-paradigma-pendidikan-islam.html
Al- Maliki, M. Alawi, Prinsip-prinsip pendidikan Rasulullah, Gema Insani, Jakarta: 2002
Anam, M. Khoirul, Melacak Paradigma Pendidikan Islam (Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan), 2003
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Kalimah, Jakarta: 2001,
Feisal Amir Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, GIP, Jakarta 1995
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006,
Ramayulis, Asari Hasan, Dasar-Dasar Pemikiran Islam, Gema Media Pratama, Jakarta: 2001
'
Alhamdulillah segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang selalu memberikan kemudahan bagi umat-Nya. Sehingga kami dapat menulis makalah ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam Muhammad saw serta keluarga, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Begitu hebatnya nabi Muhammad dalam menyampaikan risalah tuhannya hingga beliau mampu menyebarluaskan dan menegakkan islam di atas idielogi lainnya. Sehinnga tak heran jika kita patut ikut serta dalam memperjuangkan islam ini. Dari cara rasulullah menyampaikan ajaran islam banyak ilmu yang bisa kita ambil sebagai bekal kita untuk menerapkan bagaimana kita bisa mendapatkan dan memberikan ilmu kepada orang lain. Disini kami sedikit akan mengulas tentang paradigma pendidikan islam. Dan juga beberapa hal yang perlu kita kketahui tentang cara mendidik secara islam tentunya berlandasan paradigma pendidikan islam.
Sedikit banyaknya ada kata atau kalimat yang tidak tepat dalam penulisan ini kami dengan sangat berharap setelah membaca makalah ini pembaca bisa memberikan masukan atau pesan agar kedepannya kami bisa lebih baik lagi membuat makalah. Dan kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing serta pihak lain yang telah bersedia membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Amien.
batam, 23 oktober 2012
penulis
BAB IPENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan saat ini menjadi suatu acuan bagi anak untuk bisa mengembangkan potensi diri dan menumbuhkan sikap dan mental yang dewasa. Tentunya dalam hal ini pendidikan yang diberikan pada anak melalui media sekolah. Sekolah merupakan suatu ladang bagi anak untuk memperoleh ilmu serta mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan yang diberikan saat ini merupakan pendidikan yang berdaasarkan dengan kurikulum KTSP. Bentuk pendidikan yang diberikan sangat terbatas dan berlandaskan sesuai kurikulum. Misal, target anak dalam satu tahun pendidikan harus mampu menyelesaikan satu buku panduan belajar yang berisi beberapa bab. Itu belum bisa mampu anak bisa menangkap semua pelajaran dalam satu tahun semua per mata plajaran. Seandainya satu tahun pelajaran ada 13 mata pelajaran yang setiap masing mata pelajaran harus mampu menyelesaikan semua pelajaran per bab dalam satu tahun bagaimana mungkin anak bisa menyerap itu semua ?. metode pendidikan yang diberikan pada anak didik saat ini sudah jauh dengan cara pendidikan islam. Pendidikan islam dasarnya selalu mendidik anak berdasarkan tauhid. Mendidik anak yang memberikan pengetahuan serta pengenalan terhadap sang penciptanya. Pendidikan saat ini kebanyakan teori yang dia ajarkan pada anak yaitu teori orang barat. Banyak teori teori yang menyatakan bahwa dia lah yang pertama kali menemukan sesuatu. Padahal dalam pendidikan islam semua yang ada dibumi dan serta isinya sudah dijelaskan dalam al quran. Dan juga merekalah tokoh islam yang pertamakali menemukan tentang ilmu sains, kesehatan, ilmu falak, ilmu ekstrak dan lainnya. Namun saat ini sudah dirubah oleh mereka orang barat. Dan merekalah menyatakan dirinya orang yang pertamakali menemukan teori itu. Oleh karena itu kembali kita mengkaji bagaimana pendidikan dalam islam yang sebenarnya. Dalam makalah sederhana ini kami sedikit akan menguraiknnya.
TUJUAN
Makalah ini sengaja kami buat bertujuan agar pendidikan yang ada saat ini bisa kembali menerapkan pendidikan yang sesuai dengan pendidikan islam. Juga memberikan motivasi bagi pendidik bagaimana mendidik anak yang sesuai dengan pendidikan islam. Serta memberikan anak pemahaman pada anak seiring perkembangannya dengan pengetahuan tauhid dan akidah yang benar.
RUMUSAN MASALAH
Makalah ini membahas beberapa hal tentang paradigma pendidikan islam yaitu mengenai :
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan islam
2. bagaimana pandangan islam sebagai paradigma ilmu pendidikan
3. apa yang menjadi dasar paradigma pendidikan
4. kenapa pendidikan islam bisa maju
5. kenapa pendidikan islam bisa mundur dari setelah lama berjaya
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
A. Pengertian Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subyektif seseorang—mengenai realita—dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970). Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world [suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata].” Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan. Akhirnya, saya berharap semoga blog ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua khususnya bagi saya pribadi.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung penindasan.
B. ISLAM SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENDIDIKAN
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia[19]. Maka di sini perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
.Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya pendidikan sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[20]
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:
1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan. [21]Penulis akan menjelaskan landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a. Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
b. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
c. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
d. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[22]
2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
Dalam hal ini, kita akan mencoba membandingkan konsep Sekuler, konsep sosialis dengan konsep Islam dalam hal Ilmu Pengetahuan, termasuk di dalamnya masalah pendidikan tentunya. Terbukti dalam sejarah, bahwa Islam tidak pernah mengalami konflik dengan sistem pengetahuan rasional[23], tidak seperti Kristen.
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya. Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal,)[24] Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.” [Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat] (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166). [25]
3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81). [26]
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 126).
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190). [27]
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003). [28]
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.[29] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”.[30] Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut mengandung suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis, melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
(1) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
(2) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);
(3) menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
(4) menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
Pertama, asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Kedua, konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan, manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan, yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam; dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).
Ketiga, teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari sudut yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia empiris tentang orang atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun teori-teori kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.
C. DASAR PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
Dasar paradigma pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-quran dan al-Hadis. Dari kedua sumber inilah kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah pendidikan Islam. Sebagai dasar pendidikan Islam Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan Islam. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Karena fungsi pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat.
D. AWAL KEMAJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam peran pendidikan ini benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab hingga Eropa Timur. Untuk itu adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam tidak lepas dari adanya sistem dan paradigma pendidikan yang dilaksanakan pada masa itu. Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba, spontan atau mendadak. Kesadaran ini muncul dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa Rasul Muhammad Saw.) Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat Islam untuk senantiasa menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan ilmu dan orang yang memiliki pengetahuan. Setelah Muhammad wafat, para sahabat dan umat Islam secara umum tetap melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi darah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI sampai awal abad XIII M. Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar bin Khatab mengirimkan petugas khusus ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber bagi masyarakat Islam di wilayah tersebut. Mereka biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada Umat Islam melalui khalaqoh-khalaqoh majlis khusus untuk mempelajari agama dan mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Istitusi pendidikan Islam yang modern baru muncul pada akhir abad X M. Dengan didirikannya perguruan (universitas) Al-Azhar di Kairo. Selain dilengkapi oleh perpustakaan dan laboratorium juga sudah diberlakukan kurikulum pengajaran yang berisi disiplin-disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik. Kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang berimbang. Makdunya selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu-ilmu akal sepertilogika, kedokteran, geografi, matematika dsb. Istitusi pendidikan Islam yang ideal pada masa itu yang lainnya adalah madrasah Nizamiyah. Perguruan ini sudah menggunakan sistem sekolah. Artinya telah ditentukan waktu penerimaan siswa, tes kenaikan, ujian akhir sekolah, pengelolaan dana sendiri, kelengkapan fasilitas, perekrutan tenaga pengajar yang selektif, dan pemberian bea siswa untuk siswa berprestasi. Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas yang tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan istana pun terbuka untuk umum.
E. PERIODE KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM
Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami perubahan besar dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri anak didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik. Namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Dari gambaran kejayaan dunia pendidikan Islam terdapat beberapa hal yang dapat digunakan untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam dari pasif-defensif menjadi aktif-progre intelektual senantiasa dilandasi oleh :
(1) Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifatas pendidikan di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah swt.
(2) Kedua, adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan untuk lebih menitikberatkan pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non agama dalam dunia Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat.
(3) Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal. Karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan, minimal membuka kembali sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
(4) Keempat, Mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi dapat diaplikasikan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu manghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
(5) Kelima, Adanya perhatian dan dukungan dari para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan dari pemerintah akan mempercepat penemuan kembali peradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan pendewasaan umat.
SARAN
Karena pendidikan saat sekarang sudah berkembang dan sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem kurikulum KTSP/KD yang di setiap anak harus mampu mencapai target nilai standar. Untuk itu kita kembali melihat bagaimana pendidikan yang di ajarkan oleh rasul dalam islam agar kita bisa menerapkannya tapi tanpa harus menghilangkan sistim pendidikan sekarang. Namun sebaiknya sistim pendidikan yang saat ini adadan berlaku harus mampu menyesuaikan dengan daya tangkap anak didik yang berlandaskan dengan konsep islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://jorjoran.wordpress.com/category/paradigma-pendidikan/
http://paiinisnujepara.blogspot.com/2010/10/paradigma-pendidikan-islam.html
http://iraoneajza.blogspot.com/2011/01/pengertian-paradigma-pendidikan-islam.html
Al- Maliki, M. Alawi, Prinsip-prinsip pendidikan Rasulullah, Gema Insani, Jakarta: 2002
Anam, M. Khoirul, Melacak Paradigma Pendidikan Islam (Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan), 2003
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Kalimah, Jakarta: 2001,
Feisal Amir Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, GIP, Jakarta 1995
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006,
Ramayulis, Asari Hasan, Dasar-Dasar Pemikiran Islam, Gema Media Pratama, Jakarta: 2001
'
0 komentar:
Posting Komentar
berikanlah komentar yang baik dan berbahasa yang sopan