AKHIR-akhir ini saya kerap bertanya-tanya, apa manfaat Facebook untuk anak-anak? Pikiran saya ini mulai berseliwerang semenjak beberapa waktu lalu saya mampir di sebuah warung internet (warnet) di bilangan Cilodong, Jawa Barat, untuk mengirim file ke kantor tempat di mana saya bekerja.
Saat itu, persis di samping kanan saya duduk, seorang bocah dengan sangat serius bermain game di Facebook. Kalau tidak salah, sepertinya dia sedang memainkan game Smurf’s Village. Saya tidak ingat betul pastinya. Pasalnya, memang, sangat banyak jenis permainan di Facebook yang saya pun tak pernah tertarik untuk bergabung meskipun seringkali ada notifikasi undangan untuk bergabung.
“Itu main game sama siapa, kok seru amat,” tanya saya iseng pada bocah itu, sebut saja namanya Rizki.
“Temen,” jawabnya singkat, tanpa tolehan kepala sedikit pun ke arah saya yang bertanya. Dia sedang berkonsentrasi penuh tampaknya.
“Temennya di mana, itu kok banyak yang gerak-gerak,” tanya saya lagi yang agaknya cukup mengganggu keasyikan anak yang sekira masih duduk di kelas 3 SD ini.
Ditanya, tak lama dia malah tiba-tiba berteriak, “bangsat!,” sambil terus menekan-nekan tombol keyboard dengan keras dan kesal. Saya dianggap seperti tidak pernah ada di sampingnya. Dia keok dalam permainan itu, mungkin karena saya mengganggunya. Dia pun berteriak memaki dengan kesal, entah kepada siapa.
Tapi Rizki belum menjawab pertanyaan saya. Dia terlalu asyik. Saya dicuekin.
Di kesempatan lain, di warnet juga, tepatnya warnet game online, saya mampir untuk sekedar mengecek email. Apa yang saya temukan di sini? Saya seperti menjadi orang yang bersalah dan diadili massa di ruangan yang pengap, pekat dengan asap rokok, lagi penuh caci maki ini. Betapa tidak, kata kata seperti, maaf, “anjing”, “bangsat”, “asu”, “setan”, “bajingan” tumpa ruah di sini. Saya heran, kok ada warnet kayak gini.
Setiap kali ada yang over game atau mungkin telah takluk, tumpahlah kata-kata itu. Bahkan mereka mengumpat-ngumpat dengan menyebut-nyebut nama jenis kelamin. Dalam amatan saya, sebagian besar dari mereka adalah anak anak sekolah. Anak anak sekolah atau anak-anak warnet, saya tidak tahu. Yang jelas, saat itu adalah jam sekolah dan warnet itu seperti menjadi laboratorium yang disesaki murid-murid.
Saya mengajukan pertanyaan yang sama kepada seorang anak masih duduk di bangku SMP yang duduk di samping saya sambil memainkan game-nya, dia masih pakai baju sekolah. Ternyata dia bermain game online bersama orang lain tapi berada di tempat lain yang dia sendiri tidak tahu di mana, bukan dengan teman-temannya yang ada di warnet itu. Luar biasa, ada jaringannya ternyata.
Sejak dulu saya sering melihat anak anak bermain game online tapi baru kali ini saya sempat bertanya perihal permainan yang dengan riang mereka mainkan itu. Rupanya benar-benar maya, dan itu asyik bagi mereka. Semacam ekstasi. Dan konon kabarnya, permainan game online pada umumnya menggunakan sistem jual beli-beli poin, ada transaksi. Seperti main judi.
Ada kisah lain. Untuk yang ini bukan pengalam saya melainkan sebuah sebuah kejadian yang pernah terjadi di negeri ini, gara-gara Facebook.
Di Bogor, Jawa Barat, seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh pengadilan karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial Facebook. Pernah juga seorang remaja asal Kota Tangerang harus berurusan dengan aparat kepolisian setempat karena dianggap melakukan pelanggaran hukum terhadap teman perempuannya yang dikenal melalui jejaring Facebook.
Juga belum kita lupa sebuah riset yang dilakukan situs jejaring sosial Yahoo di Indonesia yang melaporkan pengguna terbesar internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun yakni sebesar 64%.
Sementara itu Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet menyebutkan, tahun lalu pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta, dimana pertumbuhannya setiap tahun rata-rata 25%
Dilaporkan BBC Indonesia bulan Februari 2010 lalu, bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak yang telah menerima 100 laporan anak hilang yang diduga akibat aktivitas pada jaringan pertemanan di situs jejaring sosial.
Sementara itu Sekjen Komisi Perlindungan Anak Nasional Aris Merdeka Sirait mengatakan dari Januari sampai pertengahan Februari tahun tersebut terdapat sekitar 36 kasus terkait Facebook. Sebanyak 21 kasus penjualan seksual komersial melalui Facebook terjadi di Surabaya, katanya.
Sedangkan 11 kasus lainnya, kata Merdeka Sirait, ada di Jakarta juga menggunakan Facebook. Anak-anak berusia 14 tahun dan 15 tahun dijadikan pelampiasan kebutuhan biologis orang, ujar Merdeka Sirait. Ditambahkan pula ada enam kasus lainnya melalui Facebook menjadi korban pelecehan seksual. Dari 36 kasus itu, jelas Sirait, jejaring sosial Facebook banyak dimanfaatkan dalam bentuk negatif dan menjebak anak menjadi korban jejaring sosial Facebook.
Di laman yang sama, Ketua Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, mengatakan situs jejaring sosial marak digunakan oleh anak-anak maupun remaja sebagai tempat berkeluh kesah. Ini disebutnya lazim terjadi karena mereka merasa tidak diperhatikan oleh sekolah maupun keluarga. Data yang dimiliki Komnas Perlindungan Anak, sekitar 53% pemakai Facebook di Indonesia adalah remaja berusia kurang dari 18 tahun.
Barangkali karena sadar dengan dampak buruk internet terhadap remaja, beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan segera mengusulkan pelarangan waktu operasional warung internet (warnet) selama 24 jam guna menghindari dampak negatif bagi para pelajar yang akan menghadapi ujian nasional. Operasional warnet selama 24 jam di wilayah itu dinilai perlu ditata kembali karena banyak pelajar terjebak dalam rutinitas hanya untuk bermain games.
Salah Kaprah Teknologi
Ini tentu fenomena yang menarik dan jelas memprihatinkan. Pertanyaan itu kemudian kembali mencuat, apa manfaat teknologi internet untuk anak anak? Buat apa anak anak SD, SMP, SMA, sudah memiliki akun Facebook? Untuk apa program internet masuk desa? Apakah teknologi internet sudah kita manfaatkan dengan baik atau kita yang telah dimanfaatkan? Apakah kita yang telah dipermainkan oleh game-game yang ada, walaupun secara lahir kitalah yang memainkannya? Apakah kita, anak anak belia itu sudah punya cukup filter yang bagus dalam memilah?
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan praktisi parenting dan spesialis kepengasuhan anak Irwan Rinaldi, terungkap bahwa kecenderungan anak menjadikan internet sebagai tempat pelarian favorit karena lemahnya orangtua dan lingkungan sekitarnya memberikan pendampingan. Sehingga tak berlebihan jika kemudian Irwan Rinaldi mengatakan peran masjid sebagai pilar dasar pendidikan dan pembangunan karakter anak anak Muslim mulai hilang.
Saat hari Jum'at misalnya, kata irwan, yang mayoritas jama'ahnya adalah usia anak anak dan remaja, khotib Jum’at nyaris tidak pernah menyapa mereka dengan pesan pesan motivasi dan sapaan yang menyentuh.
Hal itu diungkapkan Irwan sebagaimana pengalaman dia setelah berkeliling melakukan sholat Jum'at di di sejumlah masjid di Jabodatabek. Padahal waktu Jum'at adalah waktu di mana jamaah dengan usia anak dan remaja sedang berkumpul seringkali lebih banyak ketimbang jamaah dewasa.
Hari ini, sarana pendidikan yang paling efektif adalah masjid. Tapi, kata Irwan Rinaldi, ternyata banyak juga pengurus masjid yang tidak atau belum mengerti kepengasuhan anak, sehingga akhirnya anak anak pun lebih suka nongkrong di warnet ketimbang di masjid.
Saya pernah bertemu dengan seorang anak SMP yang dengan sangat bangga sekali mengatakan bahwa dirinya punya Facebook, dia juga mengaku sudah punya email. Tentu saja saya senang ada anak SMP yang mulai melek internet seperti dia apalagi jika membadingkan dengan diri saya yang baru mengenal internet saat baru duduk di bangku kuliah.
Tapi nyatanya, akun email dibuat hanya untuk daftar di Facebook. Setelah itu dia mulai tenggalam dengan hiruk pikuk di jejaring sosial itu dan sama sekali ia tidak tahu bagaimana cara mengirim email atau membuka email. Dia lebih lihai untuk login ke Facebook dan sangat lancar sekali melakukan upload, dan bermain game di sana bersama orang-orang yang mungkin sama sekali belum dikenalnya.
Pertanyaan saya, untuk apa anak-anak punya Facebook selain untuk menumpulkan kepala dan pelan-pelan membuatnya terasing?
Saya mulai merinding membayangkannya jika anak saya kelak sudah punya akun Facebook di usianya yang masih belia. Tentu kita tak boleh apatis dengan perkembangan teknologi yang begitu dinamis hari ini, sementara itu segera kita juga jangan sampai terjerembab karena tak mampu memanfaatkan dengan positif.
Kita berdoa semoga kita, anak-anak kita, tidak terjebak dalam ranah teknologi informasi dan internet yang kini telah menyasar semua generasi. Sebab kalau kita renungkan, kita pun tak mengerti betul manfaat apa yang telah diberikan Facebook, apalagi buat anak-anak belia itu. Wallahu ‘Alam.
Saat itu, persis di samping kanan saya duduk, seorang bocah dengan sangat serius bermain game di Facebook. Kalau tidak salah, sepertinya dia sedang memainkan game Smurf’s Village. Saya tidak ingat betul pastinya. Pasalnya, memang, sangat banyak jenis permainan di Facebook yang saya pun tak pernah tertarik untuk bergabung meskipun seringkali ada notifikasi undangan untuk bergabung.
“Itu main game sama siapa, kok seru amat,” tanya saya iseng pada bocah itu, sebut saja namanya Rizki.
“Temen,” jawabnya singkat, tanpa tolehan kepala sedikit pun ke arah saya yang bertanya. Dia sedang berkonsentrasi penuh tampaknya.
“Temennya di mana, itu kok banyak yang gerak-gerak,” tanya saya lagi yang agaknya cukup mengganggu keasyikan anak yang sekira masih duduk di kelas 3 SD ini.
Ditanya, tak lama dia malah tiba-tiba berteriak, “bangsat!,” sambil terus menekan-nekan tombol keyboard dengan keras dan kesal. Saya dianggap seperti tidak pernah ada di sampingnya. Dia keok dalam permainan itu, mungkin karena saya mengganggunya. Dia pun berteriak memaki dengan kesal, entah kepada siapa.
Tapi Rizki belum menjawab pertanyaan saya. Dia terlalu asyik. Saya dicuekin.
Di kesempatan lain, di warnet juga, tepatnya warnet game online, saya mampir untuk sekedar mengecek email. Apa yang saya temukan di sini? Saya seperti menjadi orang yang bersalah dan diadili massa di ruangan yang pengap, pekat dengan asap rokok, lagi penuh caci maki ini. Betapa tidak, kata kata seperti, maaf, “anjing”, “bangsat”, “asu”, “setan”, “bajingan” tumpa ruah di sini. Saya heran, kok ada warnet kayak gini.
Setiap kali ada yang over game atau mungkin telah takluk, tumpahlah kata-kata itu. Bahkan mereka mengumpat-ngumpat dengan menyebut-nyebut nama jenis kelamin. Dalam amatan saya, sebagian besar dari mereka adalah anak anak sekolah. Anak anak sekolah atau anak-anak warnet, saya tidak tahu. Yang jelas, saat itu adalah jam sekolah dan warnet itu seperti menjadi laboratorium yang disesaki murid-murid.
Saya mengajukan pertanyaan yang sama kepada seorang anak masih duduk di bangku SMP yang duduk di samping saya sambil memainkan game-nya, dia masih pakai baju sekolah. Ternyata dia bermain game online bersama orang lain tapi berada di tempat lain yang dia sendiri tidak tahu di mana, bukan dengan teman-temannya yang ada di warnet itu. Luar biasa, ada jaringannya ternyata.
Sejak dulu saya sering melihat anak anak bermain game online tapi baru kali ini saya sempat bertanya perihal permainan yang dengan riang mereka mainkan itu. Rupanya benar-benar maya, dan itu asyik bagi mereka. Semacam ekstasi. Dan konon kabarnya, permainan game online pada umumnya menggunakan sistem jual beli-beli poin, ada transaksi. Seperti main judi.
Ada kisah lain. Untuk yang ini bukan pengalam saya melainkan sebuah sebuah kejadian yang pernah terjadi di negeri ini, gara-gara Facebook.
Di Bogor, Jawa Barat, seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh pengadilan karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial Facebook. Pernah juga seorang remaja asal Kota Tangerang harus berurusan dengan aparat kepolisian setempat karena dianggap melakukan pelanggaran hukum terhadap teman perempuannya yang dikenal melalui jejaring Facebook.
Juga belum kita lupa sebuah riset yang dilakukan situs jejaring sosial Yahoo di Indonesia yang melaporkan pengguna terbesar internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun yakni sebesar 64%.
Sementara itu Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet menyebutkan, tahun lalu pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta, dimana pertumbuhannya setiap tahun rata-rata 25%
Dilaporkan BBC Indonesia bulan Februari 2010 lalu, bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak yang telah menerima 100 laporan anak hilang yang diduga akibat aktivitas pada jaringan pertemanan di situs jejaring sosial.
Sementara itu Sekjen Komisi Perlindungan Anak Nasional Aris Merdeka Sirait mengatakan dari Januari sampai pertengahan Februari tahun tersebut terdapat sekitar 36 kasus terkait Facebook. Sebanyak 21 kasus penjualan seksual komersial melalui Facebook terjadi di Surabaya, katanya.
Sedangkan 11 kasus lainnya, kata Merdeka Sirait, ada di Jakarta juga menggunakan Facebook. Anak-anak berusia 14 tahun dan 15 tahun dijadikan pelampiasan kebutuhan biologis orang, ujar Merdeka Sirait. Ditambahkan pula ada enam kasus lainnya melalui Facebook menjadi korban pelecehan seksual. Dari 36 kasus itu, jelas Sirait, jejaring sosial Facebook banyak dimanfaatkan dalam bentuk negatif dan menjebak anak menjadi korban jejaring sosial Facebook.
Di laman yang sama, Ketua Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, mengatakan situs jejaring sosial marak digunakan oleh anak-anak maupun remaja sebagai tempat berkeluh kesah. Ini disebutnya lazim terjadi karena mereka merasa tidak diperhatikan oleh sekolah maupun keluarga. Data yang dimiliki Komnas Perlindungan Anak, sekitar 53% pemakai Facebook di Indonesia adalah remaja berusia kurang dari 18 tahun.
Barangkali karena sadar dengan dampak buruk internet terhadap remaja, beberapa waktu lalu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Balikpapan segera mengusulkan pelarangan waktu operasional warung internet (warnet) selama 24 jam guna menghindari dampak negatif bagi para pelajar yang akan menghadapi ujian nasional. Operasional warnet selama 24 jam di wilayah itu dinilai perlu ditata kembali karena banyak pelajar terjebak dalam rutinitas hanya untuk bermain games.
Salah Kaprah Teknologi
Ini tentu fenomena yang menarik dan jelas memprihatinkan. Pertanyaan itu kemudian kembali mencuat, apa manfaat teknologi internet untuk anak anak? Buat apa anak anak SD, SMP, SMA, sudah memiliki akun Facebook? Untuk apa program internet masuk desa? Apakah teknologi internet sudah kita manfaatkan dengan baik atau kita yang telah dimanfaatkan? Apakah kita yang telah dipermainkan oleh game-game yang ada, walaupun secara lahir kitalah yang memainkannya? Apakah kita, anak anak belia itu sudah punya cukup filter yang bagus dalam memilah?
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan praktisi parenting dan spesialis kepengasuhan anak Irwan Rinaldi, terungkap bahwa kecenderungan anak menjadikan internet sebagai tempat pelarian favorit karena lemahnya orangtua dan lingkungan sekitarnya memberikan pendampingan. Sehingga tak berlebihan jika kemudian Irwan Rinaldi mengatakan peran masjid sebagai pilar dasar pendidikan dan pembangunan karakter anak anak Muslim mulai hilang.
Saat hari Jum'at misalnya, kata irwan, yang mayoritas jama'ahnya adalah usia anak anak dan remaja, khotib Jum’at nyaris tidak pernah menyapa mereka dengan pesan pesan motivasi dan sapaan yang menyentuh.
Hal itu diungkapkan Irwan sebagaimana pengalaman dia setelah berkeliling melakukan sholat Jum'at di di sejumlah masjid di Jabodatabek. Padahal waktu Jum'at adalah waktu di mana jamaah dengan usia anak dan remaja sedang berkumpul seringkali lebih banyak ketimbang jamaah dewasa.
Hari ini, sarana pendidikan yang paling efektif adalah masjid. Tapi, kata Irwan Rinaldi, ternyata banyak juga pengurus masjid yang tidak atau belum mengerti kepengasuhan anak, sehingga akhirnya anak anak pun lebih suka nongkrong di warnet ketimbang di masjid.
Saya pernah bertemu dengan seorang anak SMP yang dengan sangat bangga sekali mengatakan bahwa dirinya punya Facebook, dia juga mengaku sudah punya email. Tentu saja saya senang ada anak SMP yang mulai melek internet seperti dia apalagi jika membadingkan dengan diri saya yang baru mengenal internet saat baru duduk di bangku kuliah.
Tapi nyatanya, akun email dibuat hanya untuk daftar di Facebook. Setelah itu dia mulai tenggalam dengan hiruk pikuk di jejaring sosial itu dan sama sekali ia tidak tahu bagaimana cara mengirim email atau membuka email. Dia lebih lihai untuk login ke Facebook dan sangat lancar sekali melakukan upload, dan bermain game di sana bersama orang-orang yang mungkin sama sekali belum dikenalnya.
Pertanyaan saya, untuk apa anak-anak punya Facebook selain untuk menumpulkan kepala dan pelan-pelan membuatnya terasing?
Saya mulai merinding membayangkannya jika anak saya kelak sudah punya akun Facebook di usianya yang masih belia. Tentu kita tak boleh apatis dengan perkembangan teknologi yang begitu dinamis hari ini, sementara itu segera kita juga jangan sampai terjerembab karena tak mampu memanfaatkan dengan positif.
Kita berdoa semoga kita, anak-anak kita, tidak terjebak dalam ranah teknologi informasi dan internet yang kini telah menyasar semua generasi. Sebab kalau kita renungkan, kita pun tak mengerti betul manfaat apa yang telah diberikan Facebook, apalagi buat anak-anak belia itu. Wallahu ‘Alam.
0 komentar:
Posting Komentar
berikanlah komentar yang baik dan berbahasa yang sopan